Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: KAMMI Jabar Soroti Arah Negara yang Kian Sentralistik

SuaraINetizen.com, Bandung — Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Jawa Barat, Izus Salam, menilai tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka menunjukkan gejala kembalinya negara ke arah yang semakin sentralistik. Menurutnya, di balik stabilitas politik dan konsolidasi kekuasaan, terdapat tanda-tanda penyempitan ruang demokrasi dan melemahnya ideologi kesejahteraan rakyat.

Dalam refleksinya bertajuk “Ketika Negara Kembali ke Sentral: Gejala Otoritarianisme Baru di Tahun Pertama Prabowo,” Izus menyebut bahwa pemerintahan saat ini memang tidak gagal secara administratif, namun kehilangan arah secara ideologis.

“Stabilitas memang tercapai, tetapi dengan harga mahal — demokrasi yang membisu, rakyat yang lelah, dan kebijakan yang kehilangan visi keadilan sosial,” ujar Izus di Bandung.

Ia menilai bahwa satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran bukan krisis hasil, melainkan krisis arah. Jika arah tersebut tidak diperbaiki, ia memperingatkan, maka tahun kedua bisa menjadi masa stagnasi politik paling berbahaya pasca reformasi.

Izus kemudian memaparkan lima catatan penting yang menurutnya harus menjadi bahan evaluasi serius bagi pemerintah:

Pertama, negara perlu menegaskan kembali arah ideologis menuju negara kesejahteraan sejati (welfare state). Ia menilai, program populis seperti makan bergizi gratis dan berbagai bantuan sosial memang menarik secara politis, namun belum menyentuh akar ketimpangan ekonomi.

“Populisme memberi kesan dekat dengan rakyat, tapi tidak menyelesaikan akar persoalan kemiskinan. Negara harus hadir bukan sekadar memberi bantuan, melainkan memastikan keadilan struktural,” tegasnya.

Kedua, Izus menyoroti gejala penyempitan ruang publik dan melemahnya demokrasi deliberatif. Kritik sosial kini sering dicurigai, sementara media arus utama terjebak dalam industri pencitraan.

“Kita sedang menuju demokrasi prosedural tanpa jiwa deliberatif. Pemerintah perlu membuka ruang kritik, memperkuat lembaga independen, dan menghidupkan media yang bebas,” ujarnya.

BACA JUGA:  TNI Ajarkan Hidup Bersih & Rawat Anak Cacar di Kampung Beringin, Bukti Kepedulian Hingga Pintu Rumah

Ketiga, di sektor ekonomi, ia menilai arah kebijakan masih berorientasi konsumsi, bukan produksi. Meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, fondasinya masih rapuh karena tidak didukung oleh kemandirian produksi nasional.

“Pemerintah tampak lebih sibuk memberi makan daripada membangun dapur rakyat. Tahun kedua harus menjadi momentum reindustrialisasi berbasis rakyat dan daerah,” katanya.

Keempat, Izus menyoroti lemahnya transparansi dan meritokrasi dalam tata kelola pemerintahan. Menurutnya, pemangkasan anggaran besar-besaran hingga proyek strategis nasional seperti IKN masih minim keterbukaan publik.

“Negara makin besar, tapi makin tidak transparan. Semua data fiskal harus dibuka dan penempatan pejabat harus berbasis kompetensi, bukan loyalitas politik,” tegasnya.

Kelima, ia menilai krisis terbesar bangsa saat ini bukan pada ekonomi, melainkan pada etika kekuasaan. Budaya politik transaksional dan loyalitas buta terhadap kekuasaan dinilai menggerus moral publik.

“Kita butuh pemimpin yang bijak, bukan hanya kuat. Kekuasaan yang benar lahir dari keberanian menolak kompromi yang melukai nurani bangsa,” ungkapnya.

Menutup refleksinya, Izus Salam menyerukan agar tahun kedua pemerintahan Prabowo–Gibran menjadi titik balik moral dan ideologis bangsa.

“Sejarah tidak menilai dari seberapa keras Anda memerintah, tetapi dari seberapa benar arah yang Anda pilih. Saatnya menegaskan arah baru: dari negara kekuasaan menuju negara peradaban, dari politik ketakutan menuju politik kebajikan, dan dari populisme konsumtif menuju pemberdayaan produktif,” pungkasnya.

About The Author